SOKOGURU, JAKARTA: Aksi demonstrasi mahasiswa menolak revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) diwarnai tindakan represif aparat kepolisian.
Insiden kekerasan ini memicu kecaman dari berbagai pihak, termasuk Anggota Komisi X DPR RI, Bonnie Triyana, yang menilai tindakan tersebut tidak beralasan dan telah melampaui batas.
"Saya mengecam keras tindakan aparat yang melakukan kekerasan bahkan sampai berlebihan. Ada satu rekaman yang saya lihat, satu demonstran dikeroyok polisi. Itu berlebihan dan ngawur," ujar Bonnie dalam keterangan tertulis yang diterima situs resmi DPR RI di Jakarta, Sabtu (22/3).
Baca juga: Perusakan Mobil Wartawan Tempo Bukan Kekerasan Biasa
Aksi demonstrasi yang digelar di depan Kompleks DPR RI, Senayan, Jakarta, pada Kamis (20/3), mendapat respons keras dari aparat keamanan.
Tak hanya di Jakarta, aksi serupa juga digelar di berbagai daerah. Namun, yang menjadi sorotan adalah tindakan represif aparat yang terekam dalam berbagai video dan viral di media sosial.
Dalam rekaman yang beredar, terlihat aparat memukul, menendang, dan bahkan mengeroyok para mahasiswa.
Pengemudi Ojol Jadi Korban Salah Tangkap dan Dipukuli
Tidak hanya itu, seorang pengemudi ojek online (ojol) yang berada di lokasi juga menjadi korban salah tangkap dan dipukuli.
Pria tersebut diduga diserang aparat hanya karena berada di sekitar lokasi demo, meskipun ia bukan bagian dari aksi.
Baca juga: Vonis Bebas Polisi dalam Kasus Pencabulan Anak Dikecam, DPR: Ini Cederai Keadilan
"Sopir ojol itu mengalami luka di kepala akibat dipukul dengan pentungan dan ditendang oleh beberapa polisi. Kejadian ini jelas tidak bisa dibenarkan," kata Bonnie.
Kekerasan aparat juga terjadi di Semarang, di mana seorang mahasiswa mengaku dipukul di kepala dan kaki hingga tersungkur saat mengikuti aksi di depan Kantor Gubernur dan DPRD Jawa Tengah.
Kritik DPR: Polisi Jangan Asal Main Gebuk
Bonnie Triyana menegaskan bahwa demonstrasi merupakan bagian dari hak konstitusional rakyat dalam menyampaikan pendapat, sebagaimana dijamin oleh Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Ia mengingatkan bahwa mahasiswa tidak hanya berperan dalam dunia akademik, tetapi juga sebagai elemen penting dalam pembangunan sosial dan politik bangsa.
"Dalam demokrasi, mahasiswa memiliki hak untuk menyuarakan pendapatnya. Mereka bukan hanya belajar di kampus, tetapi juga memiliki kepekaan sosial dan kritis terhadap kebijakan negara," tegasnya.
Menurut politisi dari Fraksi PDI-Perjuangan ini, aparat kepolisian seharusnya bisa mengelola situasi dengan pendekatan yang lebih terukur dan profesional. Ia menilai aksi represif yang terjadi justru memperburuk situasi.
"Beri mereka ruang dialog. Aparat semestinya bisa mengelola persoalan ini secara terukur. Jangan asal main gebuk, apalagi sampai mengeroyok," ujarnya.
Tuntutan Evaluasi dan Pendekatan Humanis
Komisi X DPR RI mendesak pimpinan Polri agar memberi arahan lebih baik kepada jajarannya di lapangan.
Bonnie meminta aparat keamanan untuk mengedepankan prosedur operasional standar (SOP) dalam menangani aksi demonstrasi, serta menggunakan pendekatan humanis demi menjaga kondusivitas.
Baca juga: DPR: Polisi Wajib Terima Laporan, Lindungi Masyarakat Tanpa Pandang Bulu
"Aparat harus bertindak dengan bijak dan tetap menjunjung hak asasi manusia dalam menjalankan tugasnya. Jangan sampai tindakan berlebihan ini malah memperburuk citra kepolisian di mata publik," tandasnya.
Lebih lanjut, Bonnie menegaskan bahwa polisi perlu menjaga komunikasi yang baik dengan para pengunjuk rasa untuk menghindari eskalasi konflik yang bisa merugikan semua pihak.
"Mahasiswa menyampaikan aspirasi bukan untuk dijadikan musuh. Jangan sampai cara-cara kekerasan ini menjadi kebiasaan dalam menangani protes rakyat," tutupnya.
Tindakan represif aparat dalam demonstrasi ini semakin menambah catatan kelam pelanggaran terhadap kebebasan berpendapat di Indonesia.
Pertanyaannya, apakah pemerintah dan kepolisian akan melakukan evaluasi atau terus membiarkan praktik kekerasan ini berulang? (SG-2)